EKSISTENSI MERAH HITAM DALAM KOMPLEKSITAS PROBLEMATIKA KEKINIAN

Entah berapa tahun sudah usia ( kesannya berbeda dengan umur, karna usia lebih terkesan tua) teknik kini (ketika eksistensinya pun terkesan dipertanyakan dari pada dibanggakan kepada orang-orang yang diharapkan dapat mengembalikan kejayaannya) bersama dengan kehidupan lembaga kemahasiswaannya. Teknik kita yang tercinta kini sedang berjuang mengembalikan semua julukan kerennya (We Are The Champions) di tengah tantangan masa, dari negara hingga oknum-oknumnya (mahasiswa). Ketika yang terkenal dari kita hanyalah kekuatan fisik, keberanian lapangan, atau pun kuantitas massanya. Lalu apa yang salah dengan semua keadaan ini? Apa masalahnya????? Kali ini saya akan mencoba sedikit memaparkan atas apa yang saya ketahui tentang teknik kita....

Pertama, pengkaderan kita. Mungkin saya bukan termasuk orang yang mudah peka dan mampu menemukan berbagai hikmah konkrit dalam setiap prosesi pengkaderan kita. Lebih-lebih ketika saya berfikir bahwa mungkinkah kita mahasiswa teknik yang kreatif mampu menemukan cara baru untuk menghasilkan regenerasi kaum intelektual muda yang mempu “bergerak”. Atau mungkin bukannya tidak mampu, tetapi lebih tepatnya tidak mau??? Saya harap suatu saat saya tahu apa sebabnya hingga akhirnya kita temukan solusinya.

Yah, SOLUSI !!! Suatu kata yang cukup sulit kita temukan ketika mendengar kritikan atas berbagai kebijakan. Sebuah sikap kritis tanpa perimbangan solusi. Walaupun kita masih tetap bisa melakukan pembelaan dengan berapologi bahwa begitulah harga proses kritisisasi pemikiran mahasiswa perubahan. Dengan jiwa muda yang kita miliki siap bergerak / “diminta bargerak” demi idealisme ,namun sayangnya tak jarang menumbuhkan persepsi untuk “Tolak” semua kebijakan yang ada yang dianggap tidak sesuai dengan hati kita, tanpa rasionalisasi untuk memikirkan sebagaimana yang dipikirkan oleh para birokrat/pemerintah hingga kita pun dapat memberikan solusi yang dapat diterima oleh akal mereka.

Ketika birokrasi kampus kita mengeluarkan suatu “kebijakan” yang katanya dengan niat baik memperbaiki citra kampus, jelas kita sebagai pemilik kultur teknik yang merasa akan digusur dari amanah penjagaan pintu masuk teknik, jelas meNolak. Hingga akhirnya kita pun diPaksa untuk mengikuti kemauan bapak-bapak pejabat kampus kita, Kenapa cara diplomasi tidak mampu kita atasi??? Mungkinkah karna kita pun tidak dapat memberi solusi konkret bagi kemajuan kampus kita ini? Bertanyalah apa yang telah kita berikan untuknya. Ternyata proses pengkaderan kita kurang mampu menghasilkan keluaran-keluaran yang mampu melakukan kompentisi intelektualisme,setidaknya mampu menjadi kritikus bersama solusinya , walaupun hanya untuk dikampus tercinta.

Saya juga masih ingat dengan kejadian salah satu aksi “kita” di dilapangan merah untuk menyuarakan pembelaan kita pada kasus PMB. Aksi yang cukup tertib dan adem, seadem temen2 yang berlindung dari panas ketika yang lain berorasi di depan . Kemampuan orasi yang masih terbata-bata dengan kata khas yang selalu keluar (hm.......e......dsb) , serta rasionalisasi tindakan aksi yang terkesan berulang-ulang dari satu orator ke orator lainnya. Apa mungkin kita kurang melakukan kajian strategis terhadap berbagai persoalan?? Yang merasa dilarang tersinggung, Just intermezzo

Dan sekarang, dicari !!! Ana’ ana’ teknik yang setidaknya memenuhi lima kompetensi gerakan kekinian kita, pertama pengetahuan dasar yang kuat dan luas, wawasan makro eksternal (dari kekampusan hingga kebangsaan) , kepakaran dan profesionalitas intelektualisme gerakan, jaringan yang luas dan kepemimpinan yang “tangguh” , hingga kemampuan menyampaikan gagasan pada orang lain dengan penguasaan komunikasi massa. Semoga kita dapat merancangnya dalam suatu ajang pengkaderan kita kedepan.

Berikutnya, Kritik plus kesadaran mendasar pada gerakan kita saat ini adalah ekspresi reaksioner kita terhadap berbagai isu sekitar kita( isu – isu kemasyarakatan / nasional). Bentuk reaksioner ini mengindikasikan bahwa gerakan kita tidak memiliki agenda atau hanya sekedar pengkonsumsi berita/isu. Atau mungkin ruang gerak kita hanya terbatas pada fungsi pengabdian pada lembaga mahasiswa kita ?! lalu dimanakah peran kita sebagai mahasiswa indonesia ?

Ketika isu-isu nasional telah mulai memanaskan pikiran para mahasiswa lain di luar sana untuk sgera menyusun strategi gerakan, ternyata kita masih ada di kampus ini untuk membahas masalah – masalah kuliah, perbedaan idiologi, aturan – aturan organisasi , strategi penjagaan kultur keteknikan (maaf, sebenarnya saya sendiri mungkin belum begitu mengenal teknik kita ini, karna mungkin usia 4 semester masih jauh dari pengalaman mengenal mayoritas kehidupan kita di teknik) , dsb.

Saya fikir mungkin wajar saja kita kehilangan eksistensi sebagai mahasiswa pergerakan, karna akses informasi isu kita masih sangat terbatas. Kecuali mungkin bagi mereka yang juga memiliki aktivitas ekstra lembaga mahasiswa teknik, dengan berbagai gerakan kajian strategis atas berbagai persoalan baru / yang diperbarui sebagai bagian dari strategi penciptaan wacana publik. Inilah yang menimbulkan kesenjangan pembelajaran kita yang hanya mengabdi pada lembaga tanpa ada pembelajaran lain dari berbagai jaringan.

Saya ingat kembali ketika kampus Unhas kita bersama beberapa lembaga mahasiswa lainnya yang berkomitment untuk bersama membangun kempus kita, “melebur” dalam pemilu raya Lembaga Mahasiswa Unhas ( BEM UH ). Satu lagi pembelajaran yang saya dapat tentang teknik kita, entah salah atau benar menurut yang lainnya. Bahwa ketakutan kita / perlawanan kita terhadap eksistensi pejabat-pejabat birokrasi kampus teradap gerakan kemahasiswaan kita yang independen akan dapat mereka tunggangi , menjadi alasan penolakan kita atas adanya Lema UH ( itu alasan yang saya terima dari seorang kanda senior ). Saya berfikir, kenapa kita bisa takut dengan hal itu? ,padahal ketika justru kita antusias dengan segala rancangan strategi untuk tetap ikut bahkan kita pun sebagai fakultas terbesar (kuantitas) dapat menjadi pemimpin / pemegang lema itu sendiri. Yang dengan kekuasaannya yang tidak hanya berada di posisi pemimpin namun juga pada wilayah-wilayah strategis ,kita pun dapat menyiasati segala upaya penunggangan itu. Kecuali, kita akhirnya mengakui bahwa para pemikir – pemikir kita memang masih sangat kurang cerdas dalam hal tersebut. Dan menurut saya, salah satu implementasi dari tidak ikut terjunnya kita pada wilayah itu, menjadikan proses pembelajaran / pencerdasan strategi kita pada fungsi penggerak maupun orang yang bergerak masih sangat kurang, hingga hanya terfokus pada masalah-masalah internal.

Ketika kita juga dimarakkan oleh hiruk pikuk berita "BHP" yang sebenarnya ini bukanlah berita baru. Teman-teman kita diluar sana mungkin saja saat ini sedang membahas tentang solusi-solusi yang akan ditawarkan untuk pemerintah or minimal gerakan antisipatif yang bisa kita lakukan, sementara kita untuk sosialisasi pun belum untuk masyarakat teknik kita, mungkin hanya pembesar-pembesar kita yang sering ke POMD saja yang tau. Lalu kira-kira mungkinkah kita akan menjadi bagian dari kerja-kerja perubahan bangsa?!

Katika berbagai kebijakan birokrasi kampus maupun pemerintah mulai menyulut tanggapan kritis dari masyarakat dan protes dari mahasiswa. Beberapa kali kita menyaksikan sejumlah mahasiswa di beberapa kampus terkemuka di tanah air melakukan protes . Tapi, dimanakah kaum-kaum intelektual Teknik Unhas saat ini?

lanjut, mungkinkah kita korban kapitalisme ??? Menjadi korban pelaksana, korban peradaban dunia masa kini, bahkan mungkin untuk sebagian kita menjadi korban yang tak sadar bahwa ia sedang jadi korban. Maka semakin komplekslah problematika kekinian kita. Inilah problematika kekinian kita yang benar-benar memerlukan kesadaran yang luar biasa dari individu-individu kita sendiri. Kepada kita semua yang merasa sadar, ayo bangkit !!!

Gaya hidup hura-hura alias pesta. Kita menyaksikan semakin menguatnya unsur hiburan (entertainment) dalam kegiatan kampus kita. Menurut pengamatan saya, pergeseran aktivisme kemahasiswaan di kampus-kampus di tanah air baru terasa pasca-1998 dan kian menguat sejak 2000. Sebelumnya mungkin belum pernah terjadi seperti akhir-akhir ini. Kini begitu sering kita menyaksikan mahasiswa menggelar acara gebyar musik kampus atau konser-konser musik yang didukung iklan konsumsi massa seperti rokok dan industri otomotif.

Dengan dalih kreatifnya mungkin , kita menyelenggarakan acara-acara pesta bukan hanya sebagai selingan kegiatan kita , tapi bahkan menjadi acara inti. Bahkan menjadi acara-acara besar yang digandrungi kita – kita yang merasa perlu jadi orang keren or gaul . Mungkin dapat kita katakan sebagai masyarakat hedonist.

Lalu yang menambah semakin kompleksnya problematika kekinian kita adalah ................., pertanyaan mendasar, kemana tempat nongkrongnya ana’-ana’ teknik sepulang / disela aktivitas akademiknya ?! Poligon (or bawah pohon) , Jastek , Jasbog , Ma’ce - ma’ce , atau sudah langsung keluar kampus , mall , bioskop , dan seterusnya , atau sekedar ke studio angkatan membicarakan masalah masalah film , cinta , keuangan , or gosip – gosip lainnya yang dilakoni oleh bintang – bintang kampus ampe selebrity tingkat dunia ?! Atau ada yang lebih keren lagi , tempat yang mestinya menjadi tempat nongkrongnya kaum – kaum intelektulnya kita , POMD , menjadi bangunan multi fungsi ( sebagai tempat rapat , nonton televisi , mendengarkan musik favorit dari rock hingga dangdut dengan volume “getarkan dunia” , atau sekedar tidur tempat pengusir lelah seusai studio , atau bahkan kini menjadi sekedar ramai pada persiapan – persiapan inaugurasi dsb) . Bahkan untuk itu mereka pun masih betah berada di tempai itu (POMD) dengan limpahan sampahnya yang tak terurus (walaupun kita telah mempelajari pengetahuan lingkungan dsb) .

Saya lupa pernah dengar dari siapa, bahwa ternyata pada masa – masa sebelumnya , tempat itu pernah menjadi saksi ramainya antusiasme mahasiswa dalam berbagai forum diskusi / kajian . Apakah kini dan untuk selamanya hal itu hanya menjadi kenangan? . Apakah karna zaman telah berubah seiring dengan permasalahan baru yang lebih ngetrend plus penyelesaiannya?! Atau karna kita pun terjangkit dengan fenomena melempemnya pergerakan mahasiswa pasca reformasi yang terlihat seperti kehilangan roh , terjangkit yang berkepanjangan . Atau mungkinkah karna tidak ada lagi persoalan – persoalan yang pantas kita diskusikan bersama ? Atau mungkin juga kita telah kehilangan kepekaan sebagai seorang mahasiswa.

Kini Sang bintang kampus bukanlah mereka yang mampu secara lantang menyuarakan aspirasinya . Kini Sang bintang kampus bukanlah mereka yang memiliki tingkat akademis super . Kini Sang bintang kampus bukanlah mereka yang memiliki manuver – manuver pemikiran strategis bagi eksistensi status agen of change (agen perubah) –nya . Bahkan kini mereka telah digantikan dengan sang bintang basket , band , selebriti lokal hingga mancanegara.

Bahkan mungkin di satu sisi, kita para intelektual ingin seperti artis dan selebritis. Di sisi lain, para artis pun ingin kelihatan seperti intelektual, yang menjadi impian kita (mahasiswa) di pentas hiburan dan konsumsi massa.

Trus, kita juga menyaksikan sekarang ini kampus kita terkesan semakin sesak dan kehilangan kesunyiannya sebagai tempat untuk belajar yang sesungguhnya memerlukan suasana tenang. Ada kesan kuat yang terasa bahwa kantin, ruang kuliah, dan halaman parkir di kampus-kampus ternama di Indonesia sekarang ini terasa semakin sesak. Sementara ironi nasib perpustakaan, tetap saja lengang pengunjung dan sepi buku baru.

Hal-hal semacam inilah barangkali cermin kontradiksi dari dunia keteknikan kita akhir-akhir ini, ketika ruang-ruang pemekaran imajinasi, inspirasi, dan kreativitas mahasiswa semakin menyempit, sementara ajang-ajang kreativitas mahasiswa terus dikudeta oleh logika budaya kapitalisme.

Hari ini, saya sebagai salah satu mahasiswa yang baru kurang lebih 4 semester menjadi bagian dari mahasiswa teknik, berharap mungkinkah saya , kami, anda dan kita semua dapat kembali membangun teknik dengan segala tantangan dan rasionalitas kekinian.

Saya akhiri tulisan ini dengan sebuah cita yang pernah ditorehkan dalam sebuah lirik lagu (Teknik Song) Teknik Adalah

Aku banyak bangga karna lagu teknik

Aku bisa nampang terus karna lagu teknik

Aku jadi ikut buntu gara-gara teknik

Aku bisa segalanya hanya karna teknik

T artinya Taat dan Taqwa

E artinya Emang pintar

K artinya Kuat dan rewa

N artinya Ninjanya Unhas

I artinya Ilmu yang utama

K artinya Kuat donk yeah

Teknik 5X bukan sembarang teknik

Teknik 5X Bukan teknik kalasi

Teknik 5X Membrantas korupsi

Teknik 5X Rajanya singa

Teknik 5X Memang itu yang tercanggih

Teknik 5X tolo’nya Unhas

(Mohon maaf kepada kanda-kanda zenior, jika ada kesalahan lirik lagu. Dan semoga kesalahan itu bisa saya, kami, anda ,dan kita perbaiki dengan kerja-kerja kita bagi Eksistensi TEKNIK)

0 komentar:

Szamat Datang



Powered By Blogger

 

Blog Template by Adam Every. Sponsored by Business Web Hosting Reviews